Terjerat Kasus Jatah Preman Rp7 M, Gubernur Riau Kena OTT Ditahan KPK

By Indonesia Maritime News 05 Nov 2025, 21:50:14 WIB Hukum
Terjerat Kasus Jatah Preman Rp7 M, Gubernur Riau Kena OTT Ditahan KPK

Keterangan Gambar : Gubernur Riau, Abdul Wahid alias AW (tengah) ditahan KPK. Foto: KPK



Indonesiamaritimenews.com (IMN), JAKARTA: Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW) akhirnya ditahan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi senilai Rp4,05 miliar. Dia langsung ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK, Rabu (5/11/2025).

AW dituduh terlubat kasus dugaan pemerasan anggaran proyek Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPR-PKPP) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2025. Dua tersangka lainnya yang juga ditahan yaitu M. Arief Setiawan (MAS) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam (DAN) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

Sebelumnya, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, Senin (3/11/2025). KPK memeriksa 10 orang, sembilan di antaranya diterbangkan ke Jakarta, sedangkan satu orang lainnya menyerahkan diri. KPK akhirnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka.

Baca Lainnya :

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan, pihaknya menetapkan tersangka ini seusai ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup. AW dan dua orang lainnya langsung ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 4-23 November 2025.

Menurut Tanak, tersangka AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara itu, tersangka DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

Minta Jatah Preman

Tanak menjelaskan, penangkapan berawal dari pengaduan masyarakat ke KPK. "Tindakan penangkapan berawal dari pengaduan masyarakat ke KPK," jelas Tanak di Gedung KPK, Rabu (5/11/2025). Ia menyebut, pengaduan tersebut sebagai kontribusi publik terhadap pemberantasan korupsi.

Dari informasi awal tersebut, KPK kemudian mengumpulkan bahan lainnya di lapangan. Tim KPK, sambung Tanak, mendapat informasi bahwa pada Mei 2025 ada pertemuan di sebuah kafe di Pekanbaru antara FY selaku sekretaris PUPR PKPP dengan 6 kepala UPT wilayah.

Pertemuan itu menurut Tanak membahas soal kesanggupan memberikan fee kepada AW selaku Gubernur Riau yakni sebesar 2,5 persen. "Fee tersebut atas penambahan anggaran tahun 2025 yang dialokasikan pada UPT jalan dan jembatan wilayah satu sampai 6 di Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar," urai Tanak.

FY kemudian melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada MAS selaku Kepala Dinas PUPR. Namun MAS meminta nilainya 5 persen atau Rp7 miliar. "Bagi yang tidak memenuhi perintah, diancam dengan pencopotan ataupun muatasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman," ungkap Tanak.

Dijelaskan Tanak, seluruh kepala UPT selanjutnya melakukan pertemuan dengan seluruh FW dan disepakati fee untuk AW sebesar 5 persen atau Rp7 miliar. Hasil pertemuan ininkemudian dilaporkan FW kepada Kepala Dinas PUPR degan bahasa kode 7 batang.

Juni Hingga November

Tersangka AW disebut menerima setoran Rp4,05 miliar. Setoran pertama dilakukan FY selaku pengepul uang dari Kepala UPT pada Juni 2025 sebesar Rp1,6 miliar. Uang itu kemudian disetorkan kepada AW lewat DAN sebesar Rp1 miliar, sedangkan sisanya diserahkan kepada MAS selaku Kepala Dinas PUPR-PKPP.

Kemudian pada Agustus 2025, FY mengumpulkan uang Rp1,2 miliar untuk disetorkan kepada AW. Uang itu selanjutnya diserahkan kepada AW Rp300 juta, untuk proposal kegiatan perangkat desa Rp375 juta, serta disimpan FY sebesar Rp300 juta.

"Pada November 2025, tugas pengepul dilakukan Kepala UPT III dengan total mencapai Rp1,25 miliar yang dialirkan untuk AW (Abdul) melalui MAS (Arief) senilai Rp450 juta," jelas Tanak.
Sementara sisanya sebesar Rp800 juta diberikan langsung oleh Kepala UPT III kepada AW. Total penyerahan pada Juni - November 2025 mencapai Rp4,05 miliar.

Sementara itu, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengungkapkan ada temuan-temuan lainnya atau penerimaan lainnya. Sedangkan OTT baru hanya fokus pada kasus di PUPR. "Makanya sementara kita untuk meng-cover itu semua kita juga menggunakan Pasal 12B (untuk penerimaan-penerimaan lainnya)," kata Asep Guntur Rahayu.

Para tersangka dituduh melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Bow/Mar)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook