Penyair Palestina Mahmoud Darwish: Tak Bisa Menjadi Pembenci atau Pengemar Israel

By Indonesia Maritime News 18 Okt 2023, 15:19:00 WIB Seni & Budaya
Penyair Palestina Mahmoud Darwish:  Tak Bisa Menjadi Pembenci atau Pengemar Israel

Keterangan Gambar : Penyair Mahmoud Darwish. kelahiran: 13 Maret 1941, di Al-Birwa. Meninggal 9 Agustus 2008, di Houston, Texas, Amerika.Foto repro HS



Indonesiamaritimenews.com (IMN): APAKAH yang dimiliki seorang penyair selain kata-kata yang telah "direkayasa dengan canggih" menjadi sebuah puisi?

Ya, di tangan penyair kata-kata bisa menjadi bom berdaya ledak tinggi. Menjadi peluru tajam yang mampu menembus dinding beton. Menjadi kilau pedang tajam yang menebas batang jati.

Baca Lainnya :

Namun, sedahsyat- dahsyat ledakan bom kata-kata, setajam-tajamnya daya tembus peluru kata-kata, secepat-cepatnya daya tebas pedang kata-kata, dia tak akan mampu membunuh manusia. Sebagaimana bom dan peluru yang dimuntahakan Israel di Gaza, Palestina, seperti yang dipertontonkan di ruang tamu rumah kita lewat pemberitaan.

Mahmoud Darwish mengungkapkan  rasa  dipengaruhi perjalanan hidup, di antara cinta masa lalu, kondisi pilu di depan mata, hidup yang sempat terlunta di negeri sendiri, kritikan kepada zionis, perjuangan dan harapan  Bangsa Palestina yang Merdeka,  tempat dia berdiri dan melonggok melihat dunia. Lihatlah gemuruh di dadanya pada  bait puisi  di bawah ini:

NEGERI

Gantung aku di atas pelepah kurma

Gantung aku... karena aku tak akan pernah mengkhianati kurma

Tanah ini milikku, dan sejak dulu aku perah susu onta dan airnya dengan sukarela

negeriku bukan seikat cerita

bukan kenangan, bukan sawah yang gerimis

negeriku bukan cerita dan nyanyian

bukan cahaya di atas pamor pedang

negeriku kemarahan orang asing atas kesedihan

dan anak kecil yang menginginkan pesta dan ciuman

angin begitu sempit di ruang tawanan

si tua renta menangisi anaknya juga sawahnya

tanah ini kulit bagi tulang dan hatiku...

di atas rerumputannya terbang seperti pohon kurma

gantung aku di atas lelepah kurma

gantung aku karena aku tak akan pernah mengkhinati kurma!

Demikialah kata-kata dalam puisi di atas. Puisi berjudul Negeri yang saya kutip dari halaman 113 buku Pecinta dari Palestina, itu ditulis oleh Mahmoud Darwish, penyair Palestina paling berpengaruh dan disegani.

Buku Puisi Pecinta dari Palestina yang diterjemahkan oleh Fazabinal Alim itu memuat 70-an puis panjang Mahmoud Darwis,diterbitkan Diva Pess (2020).

Lewat puisi-puisinya yang menyuarakan cinta pada tanah kelahirannya Palestina, dan dukanya karena pendudukan Israel, bikin zionis itu berang.

Erik Erfinanto, Kolomnis alumni di Al-Azhar Kairo, menulis artikel menarik soal ini di portal alif. Id:

"Ia dibenci setengah mati oleh Israel. Padahal, cinta monyet pertama Darwish, adalah pada seorang gadis kecil Israel. Semasa dewasa, Mahmoud masuk penjara, juga atas ketokan palu seorang jaksa perempuan Israel. Dan sebuah dokumenter tentang Mahmoud Darwish, juga dibikin oleh sineas perempuan yang blasteran Prancis-Israel," tulisnya.

Lebih lucu lagi, ungkap Erik, adalah jalan karier politik Mahmoud. Hidupnya yang diabdikan pada perjuangan membela Palestina, diwarnai dengan menjadi editor sebuah majalah besutan partai Komunis Israel, yakni partai Rakha pada 1962.

Dan kemudian dia masuk dalam lingkaran tinggi PLO (Palestine Liberation Organization) pada 1987.

Sejatinya, lanjut Erik, Mahmoud Darwish adalah seorang jurnalis sekaligus penyair. Melalui kata-katanya, tulisan dan puisi Darwish menjadi ancaman yang menakutkan dan serius, bagi Israel.

Nama Mahmoud Darwish adalah sejenis dengungan yang sangat mengganggu, bagi Israel. Sejak kecil, ia sudah mbeling. Gara-gara menyaksikan, dan merasakan, kampung halamannya luluh lantak dikoyak bom Israel.

Erik menggambarkan, saat itu tahun 1947. Mahmoud, anak kedua dari pasangan Salim dan Houreyyah Darwish, pada usia 6 tahun, harus menyaksikan dengan mata kepalanya, polah tentara Israel yang merangsek masuk ke desanya di al-Birwa, lalu melumat lebur desa tanah kelahiran Mahmoud.

Tak cuma desa yang terletak di Galilee Barat itu yang digerus zionis Israel, melainkan desa-desa lainnya di Palestina. Terpaksa, dari pada ikut lumat oleh gempuran Zionis, keluarga besar Darwish mengungsi ke Lebanon, meninggalkan Desa al-Birwa yang sudah porak. Setahun mereka hidup di Lebanon.

Dan negara Zionisme Israel pun berdiri, pada 14 Mei 1948. Israel berani proklamasi, atas restu PBB pada 1947 mengenai pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab.

Sebelumnya, Liga Bangsa-Bangsa sudah memberi pangestu, melalui “Mandat Britania atas Palestina sebagai negara orang Yahudi”.

Peperangan pun pecah. Ndilalah, meski dikeroyok negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak pencaplokan Israel atas Palestina ini, negara Zionis Israel tetap menang.

"Pasca perang, keluarga besar Salim Darwish pulang ke daerah tanahnya di Acre, dan terkaget-kaget. Karena di sana, di tanah yang telah dikuasai Israel, sudah berdiri tegak dua permukiman Yahudi, " papar Erik.

Tak banyak pilihan, terpaksa keluarga Darwish melipir ke Deir al-Asad, di Galilea juga.

Sejak itulah, bocah bernama Mahmoud merasakan hidup sebagai illegal alien alias makhluk asing di tanah kelahirannya sendiri. “Engkau bisa bermain di bawah matahari sesukamu, dan engkau punya mainan, tapi aku tidak. Engkau punya rumah, dan aku tidak. Engkau merayakan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?’”

Itu gagasan yang ia ingat tentang puisi yang ditulisnya semasa bocah, dan menghasilkan ancaman: “Jika kamu menulis puisi semacam itu, aku akan memecat ayahmu dari pertambangan.”

Perkenalan pertama Mahmoud Darwish dengan puisi dari penyanyi pengembara yang melarikan diri dari kejaran tentara Israel.

Sebelumnya, jangankan mengenal puisi. Untuk tersenyum saja sulit, masa itu. Namun kehadiran penyanyi pengembara itu justru memberi inspirasi pada Mahmoud, tentang ilmu yang sebelumnya tidak pernah ia kenal sama sekali.

Kelak, bocah yang sebelum pindah ke Haifa, sempat melanjutkan sekolah menengahnya di Kafr Yasif itu, beranjak dewasa sebagai sosok mbeling, melalui tulisan dan puisinya. Debutnya, pada usia 19, ia terbitkan buku kumpulan puisi tentang ketertindasan Bangsa Palestina oleh Israel, sontak mendapat perhatian luas. Judul bukunya Burung-Burung Pipit Tanpa Sayap.

Mbeling bagi Israel tentunya, tapi patriotik bagi bangsa Palestina. Setelah kumpulan puisi bertajuk Dedaunan Zaitun terbit, Mahmoud bagai inspirator perjuangan rakyat Palestina. Meski saat itu ia belum turut dalam pergerakan, namun teriakannya melalui tulisan dan puisi, membawanya menjadi editor sebuah majalah partai komunis Israel, Rakha, pada 1962.

Orang-orang Arab menyebut Mahmoud sebagai inkarnasi dari tradisi puisi politik dalam Islam, seorang yang berjuang melalui karya nyata berupa puisi. Dan ini memang ia akui. Menurutnya, beberapa penyair Arab menjadi inspirasinya. Mereka, antara lain Abd al-Wahhab al-Bayati dan Badr Shakir al-Sayyab dari Iraq. Tapi, ada juga penyair Israel yang ia kagumi, namanya Yehuda Amichai.

Puisi Mahmoud pun kerap digubah menjadi lagu yang sangat populer oleh para komposer dan penyanyi dunia Arab, sekurangnya selama dua generasi.

Erik menutup artikelnya dengan cukup menggetarkan. Penutup yang menyingkap bahwa Mahmoud. Darwis adalah penyair yang mengedepankan kemanusiaan ketimbang kemarahan dan kebencian:

Seberapa bencikah Mahmoud Darwish terhadap Israel yang telah membuatnya keluarganya terbunuh dan dirinya terusir dari Palestina, untuk pertanyaan ini, sebagaimana ditulis. Erik:

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times (2000), ia memberikan pendapatnya tentang negara zionisme Israel. Dia bilang, 'Adalah sebuah tuduhan bahwa saya membenci orang-orang Yahudi. Sangat tidak menyenangkan bahwa mereka menyebut saya sebagai setan dan seorang musuh Israel. Saya bukan penggemar Israel, tentu saja. Saya tidak punya alasan untuk menjadi penggemar Israel. Akan tetapi, saya tidak membenci orang-orang Yahudi.”

“The accusation is that I hate Jews. It’s not comfortable that they show me as a devil and an enemy of Israel. I am not a lover of Israel, of course. I have no reason to be. But I don’t hate Jews” (New York Times, 7 Maret 2000).

Maya Jaggi mengutip pernyataan Mahmoud Darwish dalam The Guardian edisi 8 Juni 2002:

“Saya akan terus memanusiawikan bahkan musuh saya sendiri. Guru pertama saya yang mengajari bahasa Hebrew adalah orang Yahudi. Cinta pertama saya adalah seorang gadis Yahudi. Jaksa yang pertama kali mengirim saya ke penjara adalah seorang perempuan Yahudi. Jadi sejak awal, saya tidak melihat orang-orang Yahudi sebagai iblis atau malaikat melainkan sebagai manusia.” (Jaggi, 2002: 46/Herman Syahara, berbagai sumber)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook