- TNI AL Kembali Dipercaya Pimpin ADVANCE Maneuvering Exercise MTF di Laut Mediterania
- Tegaskan Anti Gratifikasi, IPC Terminal Petikemas Gelar Pelatihan SMAP ISO
- Ekspor Komoditas Lampung Meningkat, IPC TPK Panjang Pilihan Strategis Shipping Line
- Kasal Bertemu Sejumlah Pejabat Jepang, Perkuat Kerja Sama Bilateral
- KRI Belati-622, Kapal Cepat Rudal Buatan Anak Bangsa Perkuat TNI AL
- Program Pelindo Mengajar, Siswa SMA 14 Makassar Antusias Dapat Ilmu Soal Dunia Pelabuhan
- Pelindo Regional 4 Santuni 1.150 Anak Yatim
- Pelindo Sukseskan MotoGP Mandalika 2025 Pastikan Pelabuhan Lembar Lancar, Aman dan Efisien
- Dirpamobvit Baharkam Polri Cek Kesiapan Pengamanan Jelang MotoGP di Lombok Tengah
- Kemenhub dan Pemkab Subang Perkuat Pelabuhan Patimban
Institut HAM Belanda Akui Ada Diskriminasi Upah Pelaut Indonesia dan Filipina

Keterangan Gambar : Dari kiri ke kanan: Rolan F. Garrido (pelaut asal Filipina), Frank Peters (pengacara dari Belanda), Gede Aditya Pratama (pengacara dari Indonesia), dan Kees van Ast (Yayasan Equal Justice Equal Pay) berfoto di depan Institut Hak Asasi Manusia Belanda. Foto: ist
Indonesiamaritimenews.com (IMN), JAKARTA: Institut Hak Asasi Manusia Belanda memutuskan, dua perusahaan kapal Belanda telah melakukan diskriminasi secara melawan hukum terhadap dua pelaut asal Indonesia dan Filipina.
Pada 18 Agustus 2025, Institut Hak Asasi Manusia (HAM) Belanda di kota Utrecht menerbitkan putusannya terkait ketidaksetaraan upah terhadap dua pelaut asal Indonesia dan Filipina di kapal Belanda.
Institut HAM Belanda tersebut memutuskan bahwa dua perusahaan kapal Belanda telah melakukan diskriminasi secara melawan hukum terhadap dua pelaut asal Indonesia dan Filipina.
Dalam putusannya, Institut HAM Belanda menyatakan pelaut asal Indonesia dan Filipina memperoleh penghasilan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pelaut asal Eropa meskipun melakukan pekerjaan yang sama di kapal berbendera Belanda. Lembaga ini menyimpulkan, diskriminasi tidak dapat dibenarkan dengan alasan adanya dampak ekonomi dari upah yang lebih tinggi bagi pemilik kapal maupun oleh hukum internasional.
Baca Lainnya :
- Presiden Prabowo: Aspirasi Damai Dihormati, Tindakan Anarki Ditindak Tegas0
- Presiden Prabowo Takziah ke Rumah Duka Ojol Affan Kurniawan0
- Semarak HUT ke-80 RI, 80 Kapal Ikan dan Nelayan Upacara di Pelabuhan Muara Baru0
- Dirgahayu RI, dari Dasar Laut Pulau Sangiang TNI AL Kibarkan Bendera Merah Putih0
- Membangun Asa Ekosistem Pelabuhan dan Logistik Nasional Terintegrasi serta Berdaya Saing Global0
Institut HAM Belanda menyatakan bahwa apabila alasan finansial dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk diskriminasi semacam itu, maka peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan yang setara akan sangat kehilangan signifikansinya.
Dampak Luas bagi Industri Pelayaran
Kasus-kasus yang diajukan oleh seorang pelaut Indonesia dan seorang pelaut Filipina ini dinilai akan berdampak besar bagi industri pelayaran Belanda. Selama bertahun-tahun, ribuan pelaut dari Indonesia dan Filipina menerima upah lebih rendah dibandingkan rekan Eropa mereka. Kini, putusan tersebut membuka jalan untuk menuntut kompensasi atas kekurangan pembayaran upah sekaligus menutup kesenjangan upah di masa depan.
Ribuan pelaut telah menyatakan minatnya untuk bergabung mendaftarkan diri ke Yayasan Equal Justice Equal Pay, Yayasan yang mendampingi kasus ini. Yayasan Equal Justice Equal Pay menegaskan akan mengambil langkah hukum jika asosiasi pelayaran Belanda (Koninklijke Vereniging van Nederlandse Reders) tidak segera memberikan solusi kompensasi kepada para pelaut dari Indonesia dan Filipina yang menderita akibat diskriminasi upah selama ini.
“Kami berharap para pemilik kapal Belanda menghormati putusan ini. Sudah waktunya diskriminasi terhadap pelaut berdasarkan kebangsaan atau ras diakhiri. Jika tidak, kami akan menegakkannya melalui jalur hukum,” tegas Yayasan Equal Justice Equal Pay dalam pernyataan tertulis, Senin (8/9/2025).
Latar Belakang
Perusahaan pelayaran Belanda sejak lama mempekerjakan pelaut dari Indonesia dan Filipina dengan gaji jauh lebih rendah, dan beban kerja lebih berat, dibandingkan pelaut Eropa. Praktik ini bahkan selama bertahun-tahun mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
Pada tahun 2023, seorang pelaut Indonesia dan seorang pelaut Filipina yang pernah bekerja di kapal berbendera Belanda mengajukan permohonan ke Institut Hak Asasi Manusia Belanda agar menyatakan bahwa perusahaan pelayaran tempat mereka bekerja telah melakukan diskriminasi.
Sidang di Institut Hak Asasi Manusia Belanda berlangsung dalam dua sesi, satu sesi pada Oktober 2024 dan satu lagi pada Januari 2025. Perusahaan diduga melanggar Undang-Undang Kesetaraan Perlakuan Umum Belanda dengan membayar mereka, serta ribuan pelaut lain dari Indonesia dan Filipina, jauh lebih rendah dibandingkan pelaut asal Eropa, meski melakukan pekerjaan yang sama di kapal berbendera Belanda.
Kedua pelaut tersebut didukung oleh Yayasan Equal Justice Equal Pay. Kasus mereka mencerminkan kondisi ribuan pelaut lain yang juga memperoleh dukungan dari Yayasan Equal Justice Equal Pay.
Dalam perkara tersebut, Yayasan Equal Justice Equal Pay serta para pelaut dibantu oleh firma hukum Rubicon Impact & Litigation yang berbasis di Belanda, Gede Aditya & Partners di Indonesia, dan Leflegis Legal Services di Filipina.
“Para pelaut yang pernah bekerja di kapal berbendera Belanda dan mengalami diskriminasi upah juga masih dapat bergabung dalam perkara ini melalui situs yang disediakan oleh Yayasan Equal Justice Equal Pay di www.seafarersclaim.com/register”, tegas Gede Aditya Pratama, pengacara dari Indonesia yang mendampingi pelaut asal Indonesia dalam perkara ini. (Ril/*)
